Fenomena pengagamaan merupakan sebuah realitas sosial dan bukanlah sesuatu yang tabu untuk dikaji bahkan diteliti, sehingga nantinya akan ditemukan probmatika apa yang sebenarnya ada, pada realitas sosial itu dan semestinya harus dicarikan problem solvingnya sebagai tindak lanjut dari tanggung jawab kita bersama untuk menkaji ulang realitas sosial yang sudah ada dan melekat pada masyarakat Indonesia.
Pengagamaan realitas sosial yang sudah sering dan bahkan selalu di temukan diberbagai wacana keilmuan adalah (1) bidang ekonomi, (2) bidang politik, (3) bidang budaya, sedangkan dalam bidang sosial kemasyarakatan masih sebagian yang tersentuh, seperti masalah terorisme misalnya sehingga tulisan ini akan mengangkat pengagamaan sebuah realitas sosial dalam khususnya bidang sosial masyarakat, yang sebagian besar menyatakan beragama dan melaksanakan kegiatan keagamaannya.
Agama dengan melihat fungsinya dalam masyarakat, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Integrasi
Agama dalam hal ini diposisikan sebagai kekuatan penyatu dan kohesi sosial, seperti Comte yang menilai agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial dan chaos. Klaim ini sejalan dengan faham fungsional yang memang memiliki validitas, tetapi masih perlu kualifikasi, sebab meski agama ternyata di Indonesia bergerak kearah integrasi negara- agama ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga kemudian justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan, yang disitu muncul kelompok tertentu yang menganggap agama tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.
2. Legitimasi
Fungsi agama selanjutnya adalah sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya ditengah-tengah konflik sosio-politik maupun ketidak pastian.
Mengutip Richard Fenn, bahwa fungsi agama sebagai legitimasi tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga persetujuan masyarakat dan institusi yang ada didalamnya. Berbeda dengan Durkheim yang menaruh moralitas dalam masyarakat sebagai faktor penting, maka Peter Berger menaruh perhatian terhadap fungsi agama sebagai instrumen legitimasi yang menyebar dan efektif dalam menghadapi ketidak pastian maupun konflik. Agama menghubungkan realitas kekinian yang empirik dan tidak absolut dalam masyarakat dengan kebenaran tertinggi. Sehingga Agama dijadikan sebagai alat legitimas publik.
Menanggapi klaim bahwa agama membentuk sistem ketahanan legitimasi masyarakat, bisa dilihat di Indonesia bahwa agama merupakan fenomena episodik, yang muncul tatkala bangsa ini menghadapi krisis, tetapi kemudian surut tatkala keadaan telah kembali normal. Selanjutnya fakta menunjukkan bahwa munculnya agama mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan meraka.
Oleh karena itu yang perlu diwaspadai kemudian adalah ketika agama sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi yang tidak menggambarkan realitas yang autentik, dan dipakai tidak secara konsisten, melainkan hanya secara episodik sesuai dengan kebutuhan politik elit terutama ketika harus menghadapi krisis. Agama bahkan kemudian dibandang tidak lebih sebagai konstruksi mitos sosial, meski bisa saja terjadi evolusi yang genuine tetapi dalam praktek politik acapkali muncul dalam retorika yang inautentik.
3. Propetik
Fungsi propetik agama dimaksud sebagai sumber penilaian propetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang dapat dicapainya. Telaah ini berangkat dari konsep Durkhemian tentang pembagian kerja yang membedakan solidaritas mekanik seperti yang terjadi pada masyarakat tradisional disatu pihak dan solidaritas organik yang dijumpai dalam masyarakat modern dilain pihak, yang lalu membuatnya menjadi terdiferensiasi. Pertanyaanya kesatuan moral apakah yang dipakai oleh sebuah bangsa untuk dapat mempersatukan mereka yang terus mengalami diferensiasi seperti itu ?. sistem keyakinan dalam hal ini di butuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu Negara.
Dari ketiga fungsi agama yang telah dipaparkan diatas dapatlah dilihat beberapa wacana yang sedang berkembang dan menjadi konteks dasar dalam tulisan ini antara lain:
Pertama; bidang ekonomi yang menjadi wacana pengagamaan pada realitas sosial dibidang ekonomi ini dipelopori oleh Kalr Marx, dimana agama dianggap sebagai candu bagi manusia, yang diantaranya bisa berdampak pada pembentukan sikap untuk memilih pasif (nrimo) daripada memberontak dari mereka yang menanggung penderitaan fisik dan material (Marx and Engels (1957) dalam Sindhunata, 183:40), sehingga akan memunculkan bahwa agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kaum proletariat untuk meraih keuntungan sehingga agama tidak lebih dijadikan instrumen dominasi bahkan pengekal kekuasaan sebuah rezim, dan bukan penyadaran hidup manusia dari dimensi transendental (Maliki, 2000:61), image yang mendasari Karl Marx dimuka, tentu dalam konteks yang berbeda, dapat pula muncul di Indoneisa kemudian fenomena yang menggambarkan kecenderuungan itu bisa dilihat para rezim orde baru yang merangkul Islam sebagai alat legitimasi dan instrumen dominasi untuk kepentingan ekonomi yang berorientasi pada kekuasaan, sehingga sangat terlihat sekali peran dari para proletariat dinegeri ini untuk selalu mendahulukan umat Islam meskipun itu hanya sekedar simbol untuk melegitimasi kekuasaan mereka.
Kedua, bidang politik, jebakan image, ilusi yang mendasari atau peta kognisi seperti yang telah digambarkan dimuka, tentu dalam bentuk yang berbeda, dapat pula muncul dalam peta kognisi yang mendasari pola prilaku elit kepolitikan nasional Indonesia, siapapun dan kapanpun saja. Ilusi sebagai desakan archetypal sebuah kondisi kejiwaan terdalam yang antara lain berbentuk oleh berbagai kompleks yang bersumber dari image, gagasan dan juga pengalaman-pengalaman subyektif tentang masa lalu, masa kini maupun bayangan masa depan menjadi ground plans elite politik- dalam menkonstruksi simbol-simbol kekuasaan. Realitas sejarah yang kental kesadaran religiusitasnya ini, lalu secara tak terelakkan membawanya untuk menempatkan agama sebagai realitas nilai kolektif di negeri ini, sebagai sumber utama penbentukan image archetypal mereka.
Fenomena yang menggambarkan kecenderungan elite politik negeri ini dalam mengambil agama sebagai simbol-simbol kekuasaannya cukup banyak dijumpai. Penguasa Orde Baru misalnya, pada awalnya sangat represif terhadap umat Islam Politik sehingga banyak pejabat pemerintah dan bahkan juga masyarakat yang menjauh dari code ritual dan bahkan juga nilai-nilai tertentu yang bersumber dari agama, tetapi memasuki 1990-an, ketika rezim Orde Baru merubah perilaku politiknya menghadapi Islam di Indonesia, dalam hal ini menjadi lebih adabtif, maka banyak simbol-simbol kekuasaan di negeri ini yang sebahagian bahkan sangat bersemangat mengenakan simbol-simbol Islam. Namun ditengah polimek menanggapi fenomena orang lalu memfokuskan kepada upaya memahami inner dirve mengapa mereka mengambil simbol-simbol kekuasaan yang dari sumber agama Islam? hal itu juga terkait dengan religiusitas dikalangan penguasa seperti itu tidak lepas dari kecenderungan elit untuk menggali sumber-sumber legitimasi. Dengan kata lain agama dijadikan sebagai instrumen dari mode dominasi atas massa yang mereka lakukan.
Kemudian yang lebih menarik lagi dari fenomena yang berkembang awal mula era reformasi, adalah ketika wacana pemilihan presiden dengan memunculkan Megawati Sukarnoputri sebagai salah satu calon presiden, namun disitu nampak adanya proses pengagamaan realitas sosial politik yang menurut istilah Mahasin sering disebut sebagai fenomena “santrinisasi abangan”(Maliki, 2000:34) dimana justru lawan politik yang mengatas-namakan PPP dengan poros tengahnya yang mengedepankan asas Islam dari perjuangan politiknya, sehingga muncullah sebuah alasan yang menyorotinya dari sudut pandang “hukum Islam” yang menolak kepemimpinan perempuan. Dimana disitu ditinjau dari hukum Islam dan terkesan dibuat-buat, namun kenyataannya penolakan terhadap kepemimpinan perempuan itu tidak menjadi tujuan dari apa yang mereka perjuangkan ketika pemimpin PPP sendiri menduduki kursi presiden dan bahkan tidak ada manuver-manuver politik yang mengarah pada nilai-nilai religiusitas.
Ketiga, bidang budaya bisa dilaht dalam proses penyabaran Islam yang dipelopori oleh para wali songo dimana disitu ada suatu realitas sosial budaya yang diproses untuk menjadi sebuah budaya Islam yang sudah mengental pada kalangan masyarakat, seperti budaya selamatan 7 bulan orang hamil (pelet betteng; madura) yang nota bene merupakan salah satu budaya Agama Tertentu, sehingga hal itu nampak sekali proses pengagamaannya.
Dari gambaran diatas, ternyata masih banyak sebenarnya persoalan yang belum pernah disentuh dalam dunia penelitian yakni pengagamaan realitas sosial kemasyara-katan yang justru sangat menarik untuk dikaji yaitu karena agama dipandang sebagai salah satu faktor untuk melegitimasi kegiatan sosial, yaitu sebagai pembentuk aktifitas sosial obyektif yang mempengaruhi pola interaksional dalam masyarakat, dimana sangat memungkinkan agama membentuk ruang sosial dari masing-masing jenis dan pemeluk agama yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola interaksi sosial diantara anggota masyakata. Namun soal essensial yang hendak dikatakan disini adalah bahwa aktifitas keagamaan sebagai sesuatu yang menjadi pelaksana norma agama dalam konteks tertentu menjadi implikasi sosiologis dari pada kehidupan keberagamaan seseorang. Di berbagai event akademis misalnya implikasi kehidupan keberagamaan terhadap aktifitas sosial merupakan hal yang sering dikaji tapi belum berung pada sebuah konklusi yang jelas dan tepat.
Tetapi meskipun demikian, ternyata masih juga terdapat sekelompok masyarakat yang berbeda dengan apa yang dikatakan di atas, dimana justru memandang realitas sosial kemasyarakatan lebih dalam etos kerja mereka merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan, sehingga realitas sosial kemasyarakatan bagi sekelompok masyarakat itu merupakan sistem sosial yang sudah baku dan tidak dapat dirubah lagi. Akibatnya sekelompok masyarakat tersebut menganggap sama sekali tidak perlu memikirkan dan merombak realitas sosial kemasyarakatan tersebut, sehingga muncullah realitas sosial kemasyarakatam yang berlabel agama sebagai sesuatu yang mutlak dan benar menurut pandangan sekelompok masyarakat itu.
Begitulah, kecendrungan seperti yang disebut terakhir diatas tampak jelas ditunjukkan dalam kehidupan kelompok masyarakat pencari infaq di jalan raya. Kelompok masyarakat itu tampak antusias sekali menjadi petugas pencari infaq dengan cara mencegat kendaraan yang lewat di jalan-jalan, tanpa harus mempertimbangkan dan memikirkan aspek sosial apakah mereka sudah sesuai dengan ajaran agama atau taqlid buta terhadap aktifitas keagamaan dari doktrin teologi yang mereka pahami.
Fenomena demikian sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam masyarakat yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemeluk agama yang patuh. Padahal dilihat dari latar belakang pendidikan umumnya mereka belajar di sekolah formal dan bahkan sekitar 65% (hasil penelitian di Kabupaten Pamekasan Madura) dari mereka pernah belajar di pondok pesantren yang nota benenya diajarkan berbagai pandangan dalam Islam (pluralitas aliran/mazhab) dalam hidup bermasyarakat dan beragama, di samping itu secara sosial ekonomi tidaklah tergolong ekoomi lemah/miskin.
Fenomena masyarakat tersebut dilihat dari sisi ilmu sosial mengisyaratkan adanya suatu masalah yang seharusnya dipecahkan didalamnya. Masyarakat itu menampilkan sesuatu yang aneh dan unik, yang sekaligus menarik dan menantang untuk ditelaah secara mendalam, ada apa sesungguhnya dibalik fenomena itu dan mengapa pula mereka berprilaku demikian.