Senin, 07 Juli 2014

Pengajuan terakhir NISN Khusus kelas 6, 9 dan 12 Semester Genap Tahun Pelajaran 2013-2014

MOHON DI EMAILKAN KE PENDMA PALING LAMBAT HARI KAMIS TANGGAL 10 JULI 2014 PUKUL 10.00WIB.
MOHON TIDAK TERLAMBAT KARENA MASIH AKAN DI REKAP DI KABUPATEN.
TERIMAKASIH

Kamis, 31 Maret 2011

AGAMA DAN BUDAYA

Sebagai makhluk yang hidup didalam lingkungan sosial budaya tertentu, manusia bukanlah makhluk yang lepas dari konteks dan latar sosial budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal itu memungkinkan karena budaya itu senantiasa diproduksi dan direproduksi didalam masyarakat. Disamping itu proses sosialisasi dan enkulturasi terus berlangsung sehingga budaya itu menjadi terus menerus terwariskan. Tetapi lebih dari itu semuanya berjalan dengan memerlukan proses dan fungsi agama.
Setiap masyarakat tentu memiliki kebudayaan tertentu yang menjadi acuan bersama tentang bagaimana seharusnya melakukan sesuatu, bertindak serta berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Corak budaya setiap masyarakat, dalam kenyataan, memang memperlihatkan perbedaan-perbedaan spesifik antara manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan budaya yang demikian itu menjadikan suatu masyarakat memiliki karakteristik rasionalitas yang berbeda pula satu sama lain.
Dalam konteks ini, budaya dapat dikatakan sebagai acuan normatif bagi setiap masyarakat dalam berprilaku. Dalam pandangan Lenski (1970:27), misalnya, budaya adalah bagian dari prasyarat fungsional untuk tetap survive-nya suatu masyarakat. Bagi Lenski, “human societis are basically adaptive mechanism. They are, in other word, instrument which men use to satisfy their needs”. Lenski menempatkan masyarakat sebagai kelengkapan hidup manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa struktur, fungsi dan evolusi suatu masyarakat tidak lepas dari tuntutan adaptasi guna memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri. Dengan kata lain, bagaimana masyarakat itu tersusun, berfungsi dan fungsi dan berevolusi merupakan rangkaian akibat dari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Sejalan pemikiran Lenski, ahli sosiologi terkemuka Talcott Parsons (1952:15) menyebutkan, “Cultur, that is, is on te one hand the product of, and on the other and a determinant of, system of human social interaction”. Hal ini mengisyarakatkan bahwa berbagai sistem interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat ditentukan oleh budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain semakin jernih pengungkapannya, hantaman yang diterimanya semakin dahsyat (Geertz, 1995:66). Tetapi disisi lain, budaya itu sendiri sekaligus merupakan produk dari sistem interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersangkutan. Karenanya, menurut pandangan Parsons, suatu budaya pada dasarnya merupakan warisan sosial (social heritage) yang diperoleh dari hasil belajar dan merupakan hasil berbagi (sharing) dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti antara masyarakat dan budaya adalah dua persoalan yang secara analitik dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, namun dalam kenyataan kehidupan keduanya tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab satu sama lain saling bergantung sekaligus saling membentuk. Dalam kenyataan, budaya mempersaratkan adanya masyarakat agar bisa tercipta dan terbetuk suatu tatanan sosial (sistem interaksi) dalam kehidupan masyarakat.
Untuk menjelaskan persoalan diatas maka dalam perpektif teori struktur fungsional diharapkan dapat menggiring persoalan menjadi lebih jelas, guna menemukan persoalan-persoalan substansial dari telaah dalam buku ini.
Teori struktur fungsional digunakan karena dapat menumbuhkan perhatian pada sumbangan fungsional agama yang diberikan kepada sistem sosial. Dalam konteks ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah fungsi agama sebagai kekuatan integrasi masyarakat. Sebagaimana diketahui struktur fungsional melihat masyarakat sebagai egualibrium sosial dari semua institusi yang ada didalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri dari norma-norma yang dianggap syah dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi pengambil bagian (partisipasi) dari sistem itu. Keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk sistem sosial itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagian (institusi) saling menguntungkan dengan semua bagian lainnya sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi yang lain dan keadaan sistem sebagai keseluruhan. 
Agak berbeda dengan pemikiran dimuka, Berger dan Luckmann (1990:73-74) yang mengedepankan perspektif fenomenologis yang memandang bahwa sebuah tertib sosial yang tampak nyata secara empiris pada kehidupan masyarakat manusia bukanlah dikarenakan insting, tetapi lebih dikarenakan adanya produksi budaya yang kemudian melahirkan tatanan sosial. Ketika seorang manusia dilahirkan, tatanan sosial tersebut telah ada dan membudaya. Dari manakah asal usul tatanan sosial tersebut?. Menurut Berger dan Luckmann tatanan tersebut merupakan produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produk manusia yang berlangsung secara terus menerus.
Pemikiran yang dikembangkan Berger dan Luckmann diatas sesungguhnya juga tampak lebih tegas dari apa yang ditawarkan Anthony Giddens melalui teori strukturasi-nya. Menurut Giddens (1984), struktur suatu masyarakat merupakan aturan-aturan dan sumber-sumber (rules and recorurces) yang tercermin dalam sistem sosial sehari-hari. Konsep struktur tersebut secara ekplisit memasukkan budaya sebagai bagian integral dari struktur masyarakat, sebab aturan-aturan, baik dalam pengertian konstitutif maupun regulatif , pada dasarnya adalah juga-yang oleh Giddens dimaksudkan dalam pengertian-struktur. kemudian struktur itu bersifat dinamis, karena ia tidak hanya diproduksi secara terus menerus oleh para aktor yang bertindak selaku agen struktur. Dengan demikian struktur masyarakat termasuk budaya didalam, disatu sisi merupakan medium (acuan bertindak) bagi warga masyarakat, di sisi lain sekaligus merupakan outcome (hasil) dari agensi para pelaku yang berlangsung terus menerus dalam masyarakat.
Dari pemikiran para ahli dimuka, yang hendak dikatakan pada titik akhir adalah bahwa budaya yang merupakan cara hidup serta memori kolektif itu muncul sebagai hasil belajar dan hasil berbagi dalam masyarakat. Karena itu adalah sebuah keniscayaan bagi suatu masyarakat untuk melakukan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga masyarakat bersangkutan berikut budayanya tetap eksis dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya dan begitu seterusnya.
Peran pewarisan budaya yang demikian itulah yang digeluti oleh fungsi agama dalam sebuah masyarakat. Dalam hubungan ini, Thomas F.O.`Dea menyebutkan Agama ialah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supra-empiris.
Demikianlah, sinyalemen tersebut diatas menunjukkan bahwa disatu sisi agama merupakan suatu proses dan instrumen penting di dalam masyarakat dalam rangka mewariskan budaya, disisi lain budaya terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya memerlukan fungsi agama di dalam-nya. Karena itu, antara agama dan budaya bersifat interaktif komplementatif.
Sejalan dengan perspektif teoritis yang dipaparkan dimuka, telaah ini hendak dilaksanakan dengan mengedepankan kerangka konseptual berikut ini. Bahwa pemaknaan agama dalam aktifitas sosial pada sebuah masyarakat merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan penuh pertimbangan oleh setiap pelakunya. Karena itu yang diperlukan adalah suatu upaya pemahaman terhadap rasionalitas atau struktur budaya yang mendasari mereka atas keputusan terhadap pemaknaan agama dalam beraktifitas sosial. Rasionalitas itu akan terungkap berdasarkan alasan-alasan serta jalan pemikiran yang mereka gunakan ketika mengambil keputusan. Dan ini hanya dapat dipahami dengan menggunakan perspektif emik, berdasarkan apa yang dipikirkan atau apa yang hidup dalam dunia makna pelakunya sendiri.  
Sehingga dengan demikian Clifford Geertz di Mojokuto (Kediri) tahun 60-an mencoba menginterpretasikan budaya dan agama masyarakat yang kemudian menghasilkan tipe-tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, yaitu tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, padagang dan pegawai pemerintah dalam semua arena kehidupan. Tiga tipe kebudayaan tersebut adalah abangan, santri dan priyayi. Geertz membahas baik konflik antara ketiga tipe keagamaan tersebut, maupun caranya konflik itu diperkecil, dan sebenarnya diubah menjadi keuntungan yang positif. namun demkian  menekankan pada aspek perbedaan interpretasi teologis, sosio-kultural, tentang keberterimaan budaya masyarakat tertentu. Dimana masyarakat yang awam tentang kerangka teologis aktifitas sosial bisa jadi menyelenggarakan budaya yang berbeda, karena dalam dirinya muncul kegelisahan dan keragu-raguan setelah pengaruh spiritual keagamaannya . Dari kondisi ini kemudian muncul kesadaran seseorang akan kebutuhan spiritual.

AGAMA DAN MASYARAKAT

John Coleman (1970) menyatakan bahwa agama adalah sistem keyakinan yang berperan sebagai pemersatu masyarakat. Namun secara umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya, yang kesemuanya itu didasarkan pada keyakinan terhadap adanya Tuhan. Definisi tersebut dilihat sebagai teks dan doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pemeluk atau penganut agama tersebut tidak nampak tercakup didalamnya. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual maupun kelompok, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang berbeda dari pengetahuan keyakinan lainnya yang dipunyai manusia, peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, kelestarian serta perubaan-perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia, tidak tercakup dalam definisi tersebut.
Jika ditinjau dari sudut pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang yang membedakan perwujudannya yakni:

1.      Segi kejiwaan (Psycological state).
Yaitu suatu kondisi subyektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama yang oleh Emile Durkheim disebut dengan istilah Religius Emotion.

2.      Segi obyektif (Obyective state).
Yaitu segi luar yang disebut juga kejadian obyektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan.
Agama dan masyarakat merupakan organisme sosial yang utuh, karena terdapat hubungan yang permanen antara satu sama lainnya. Masyarakat sebagai suatu organisme sosial mempunyai hukum hidupnya sendiri. Oleh karena itu, yang hendak memberikan bimbingan hidup kepada masyarakat hendaklah tahu hukum masyarakat dengan berdasarkan hukum hidup masyarakat dengan berdasarkan pengetahuan tentang masyarakat itu.. Namun ketika agama teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat yang beradap dan berbudaya, maka agama menjadi sebuah realitas sosial yang berintegrasi dengan sistem nilai sosial  budaya masyarakat, secara tidak lansung agama mengalami tranformasi doktrinal dan membawa terjadinya konvergensi.
Hubungan antara agama dan masyarakat sebagaiman dijelaskan diatas merupakan hubungan yang dialektik, keduanya saling mempengaruhi, saling mendorong dan saling menekan menuju perkembangan suatu masyarakat secara dinamis dan mewujudkan pasang surut  dalam kehidupan sosial sehingga agama memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kelompok, sangsi moral untuk perbutan perorangan, dan dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat, dengan demikian adakalanya agama sebagai sarana interaksi sosial sehingga akan terwujud sebuah masyarakat yang berperadaban.
Namun demikian Smelser mencoba memberikan gagasan tentang Interaksi sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang bertindak dan bereaksi antara yang satu dengan yang lainnya. Agama dalam hal ini diposisikan sebagai kekuatan penyatu dan kohesi sosial, sebagaimana Comte yang menilai agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial  yang juga chaos.
Kemudian dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial manusia cenderung untuk selalu berhubungan dengan lingkungannya. Adapun terjadinya interaksi sosial selalu didahului oleh satu kontrak sosial atau komunikasi. Komunikasi sosial dapat terjadi dalam bentuk: (1) komunikasi antar perorangan (2) perorangan dengan kelompok (kolektifitas), (3) antar sesama kolektifitas. Komunikasi akan berarti jika menimbulkan interaksi sosial, yaitu reaksi balik dari pihak yang diajak komonikasi. Oleh karena itu dalam interaksi sosial akan muncul jarak sosial obyektif seperti perbedaan yang ditimbulkan oleh keadaan geografis, pendidikan, agama, etnis dan sosial ekonomi, semakin jauh jarak itu semakin jauh pula kemungkinan akan terjadinya interaksi. Dan dengan demikian sebaliknya. Sedangkan faktor subyektif adalah perasaan dan pikiran seseorang yang bisa menimbulkan impresi tertentu teradap lawan dialognya. Walaupun tempat asal, agama, atnis, dan lain-lain sama atau dekat. Tetapi jika kesan tidak sama, maka sulit terjadi interaksi.
Dalam telaah ini disamping agama diartikan secara teologis, yang merupakan kumpulan doktrin yang bersumber dari Tuhan, akan tetapi juga sebagai bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Penggunaan batasan agama seperti ini dimaksudkan untuk menganalisa bagian-bagian kebudayaan masyarakat dalam mewujudkan keteraturan dan ketidak teraturan dalam masyarakat, namun betapapun goyahnya konsep “budaya” (culture, cultural forms…) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari.
Mengutip pernyataan E.B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitif Culture, yang mengartikan kebudayaan sebagai “that complex wole wich includes nowledge, belief, acts, morals, law, custom and any othter capabilities and habits acquired by man as a member of society” (keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetauan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat).
Dengan menggunakan pengertian ini, pertama agama dipahami sebagai pandangan hidup yang berfungsi menjelaskan keberadaan manusia di dunia, asal usul dan tujuannya sesudah ia meninggal. Agama adalah satu-satunya bagian kebudayaan yang mampu menjelaskan arah dan tujuan manusia, itulah sebabnya agama dikatakan sebagai bagian kebudayaan. Kedua, oleh karena agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainya, maka berarti agama juga terikat erat dengan dinamika sosial, juga dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat seperti kekerabatan, kepemimpinan, politik, ekonomi dan sebagainya. Jadi agama bersifat operasional dalam kehidupan sosial masyarakat, dan sifat operasional ini memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian empirik. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi pula oleh tingkat kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm (1956) dalam (Nata, 2001:175) yang mengatakan tidak ada kebudayaan yang tidak berakar pada agama. Keterkaitan agama dan kebudayaan (batiniah) yang melahirkan peradaban jika dilukiskan dalam sebuah gambar sebagai berikut.
 






Sehingga akan tercermin sebuah kebudayaan yang berperadaban sesuai dengan diturunkannya agama yang menjadi landasan dalam hidup ini. Kebudayaan yang berperadaban disini lebih dimaksudkan sebagai suatu peradaban yang sesuai dengan etos yang mengacu pada makna agama.
Perlu difahami bersama bahwa kata “etos” berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti: ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa, dari kata etos terambil pula kata etika dan etis yang mengacu pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi, yakni kualitas essensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Jadi etos kerja berarti karakteristik (ciri-ciri atau sifat) mengenai cara bekerja, kualitas essensial dari cara bekerja, sikap dan kebiasaan terhadap kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan atau pekerjaan itu dikatakan profesi bila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian yang cukup tinggi. Agar suatu profesi dapat menghasilkan mutu produk yang baik, maka ia harus dibarengi dengan etos kerja yang mantap pula. Menurutnya ada 3 (tiga) ciri dasar yang selalu dapat dilihat pada setiap prosfesional yang baik mengenai etos kerjanya, yaitu: (1) keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya. Ketiga ciri dasar tersebut merupakan etos kerja yang seharusnya melekat pada setiap pekerjaan yang profesional.
Seseorang agaknya akan sulit melakukan tugas/pekerjaannya dengan tekun dan memiliki komitmen terhadap ketiga ciri dasar tersebut, jika pekerjaan itu kurang bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Cara kerja seseorang yang memandang pekerjaannya sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary (gaji) dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara kerja seseorang yang memandang tugas/pekerjaannya sebagai calling professio  dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.
Patutlah disimak beberapa pendapat berikut ini antara lain A.Mukti Ali (1987) dalam Muhaimin (1999:07) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang ikut membentuk watak karakter dan tingkah laku seseorang, yaitu: (1) sistem budaya dan agama; (2) sistem sosial; dan (3) lingkungan alam dimana orang itu hidup. Kemudian M. Dawam Raharjo (1993) dalam Muhaimin (1999:07) menyatakan bahwa etos kerja tidak semata-mata bergantung pada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi dan komonikasi. Oleh sebab itu yang harus dikembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan menurut kesimpulan Nurcholis Madjid (1995:216) bahwa masalah etos kerja tidak bisa dipandang dari satu sudut pertimbangan, yaitu pertimbangan ajaran (yang murni) semata, tetapi juga melibatkan sudut pandang historis, sosiologis, dan faktor-faktor lingkungan lain, baik diluar diri manusia maupun dalam diri manusi

PENG-AGAMA-AN REALITAS SOSIAL

Fenomena pengagamaan merupakan sebuah realitas sosial dan bukanlah sesuatu yang tabu untuk dikaji bahkan diteliti, sehingga nantinya akan ditemukan  probmatika apa yang sebenarnya ada, pada realitas sosial itu dan semestinya harus dicarikan problem solvingnya sebagai tindak lanjut dari tanggung jawab kita bersama  untuk menkaji ulang realitas sosial yang sudah ada dan melekat pada masyarakat Indonesia.
Pengagamaan realitas sosial yang sudah sering dan bahkan selalu di temukan diberbagai wacana keilmuan adalah (1) bidang ekonomi, (2) bidang politik, (3) bidang budaya, sedangkan dalam bidang sosial kemasyarakatan masih sebagian yang tersentuh, seperti masalah terorisme misalnya sehingga tulisan ini akan mengangkat pengagamaan sebuah realitas sosial dalam khususnya bidang sosial masyarakat, yang sebagian besar menyatakan beragama dan melaksanakan kegiatan keagamaannya.   
Agama dengan melihat fungsinya dalam masyarakat, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:



1.    Integrasi
Agama dalam hal ini diposisikan sebagai kekuatan penyatu dan kohesi sosial, seperti Comte yang menilai agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial dan chaos. Klaim ini sejalan dengan faham fungsional yang memang memiliki validitas, tetapi masih perlu kualifikasi, sebab meski agama ternyata di Indonesia bergerak kearah integrasi negara- agama ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga kemudian justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan, yang disitu muncul kelompok tertentu yang menganggap agama tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.

2.    Legitimasi
Fungsi agama selanjutnya adalah sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya ditengah-tengah konflik sosio-politik maupun ketidak pastian.
Mengutip Richard Fenn, bahwa fungsi agama sebagai legitimasi tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga persetujuan masyarakat dan institusi yang ada didalamnya. Berbeda dengan  Durkheim yang menaruh moralitas dalam masyarakat sebagai faktor penting, maka Peter Berger menaruh perhatian terhadap fungsi agama sebagai instrumen legitimasi yang menyebar dan efektif dalam menghadapi ketidak pastian maupun konflik. Agama menghubungkan realitas kekinian yang empirik dan tidak absolut dalam masyarakat dengan kebenaran tertinggi. Sehingga Agama dijadikan sebagai alat legitimas publik.
Menanggapi klaim bahwa agama membentuk sistem ketahanan legitimasi masyarakat, bisa dilihat di Indonesia bahwa agama merupakan fenomena episodik, yang muncul tatkala bangsa ini menghadapi krisis, tetapi kemudian surut tatkala keadaan telah kembali normal. Selanjutnya fakta menunjukkan bahwa munculnya agama mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan meraka.
Oleh karena itu yang perlu diwaspadai kemudian adalah ketika agama sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi yang tidak menggambarkan realitas yang autentik, dan dipakai tidak secara konsisten, melainkan hanya secara episodik sesuai dengan kebutuhan politik elit terutama ketika harus menghadapi krisis. Agama bahkan kemudian dibandang tidak lebih sebagai konstruksi mitos sosial, meski bisa saja terjadi evolusi yang genuine tetapi dalam praktek politik acapkali muncul dalam retorika yang inautentik.

3.    Propetik
Fungsi propetik agama dimaksud sebagai sumber penilaian propetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang dapat dicapainya. Telaah ini berangkat dari konsep Durkhemian tentang pembagian kerja yang membedakan solidaritas mekanik seperti yang terjadi pada masyarakat tradisional disatu pihak dan solidaritas organik yang dijumpai dalam masyarakat modern dilain pihak, yang lalu membuatnya menjadi terdiferensiasi. Pertanyaanya kesatuan moral apakah yang dipakai oleh sebuah bangsa untuk dapat mempersatukan mereka yang terus mengalami diferensiasi seperti itu ?. sistem keyakinan dalam hal ini di butuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu Negara.

Dari ketiga fungsi agama  yang telah dipaparkan diatas dapatlah dilihat beberapa wacana yang sedang berkembang dan menjadi konteks dasar dalam tulisan ini antara lain:
Pertama; bidang ekonomi yang menjadi wacana pengagamaan pada realitas sosial dibidang ekonomi ini dipelopori oleh Kalr Marx, dimana agama dianggap sebagai candu bagi manusia, yang diantaranya bisa berdampak pada pembentukan sikap untuk memilih pasif (nrimo) daripada memberontak dari mereka yang menanggung penderitaan fisik dan material (Marx and Engels (1957) dalam Sindhunata, 183:40), sehingga akan memunculkan bahwa agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kaum proletariat untuk meraih keuntungan sehingga agama tidak lebih dijadikan instrumen dominasi bahkan pengekal kekuasaan sebuah rezim, dan bukan penyadaran hidup manusia dari dimensi transendental (Maliki, 2000:61), image yang mendasari Karl Marx dimuka, tentu dalam konteks yang berbeda, dapat pula muncul di Indoneisa kemudian fenomena yang menggambarkan kecenderuungan  itu bisa dilihat para rezim orde baru yang merangkul Islam sebagai alat legitimasi dan instrumen dominasi untuk kepentingan ekonomi yang berorientasi pada kekuasaan, sehingga sangat terlihat sekali peran dari para proletariat dinegeri ini untuk selalu mendahulukan umat Islam meskipun itu hanya sekedar simbol untuk melegitimasi kekuasaan mereka.
Kedua, bidang politik, jebakan image, ilusi yang mendasari atau peta kognisi seperti yang telah digambarkan dimuka, tentu dalam bentuk yang berbeda, dapat pula muncul dalam peta kognisi yang mendasari pola prilaku elit kepolitikan nasional Indonesia, siapapun dan kapanpun saja. Ilusi sebagai desakan archetypal sebuah kondisi kejiwaan terdalam yang antara lain berbentuk oleh berbagai kompleks yang bersumber dari image, gagasan dan juga pengalaman-pengalaman subyektif tentang masa lalu, masa kini maupun bayangan masa depan menjadi ground plans elite politik- dalam menkonstruksi simbol-simbol kekuasaan. Realitas sejarah yang kental kesadaran religiusitasnya ini, lalu secara tak terelakkan membawanya untuk menempatkan agama sebagai realitas nilai kolektif di negeri ini, sebagai sumber utama penbentukan image archetypal mereka.
Fenomena yang menggambarkan kecenderungan elite politik negeri ini dalam mengambil agama sebagai simbol-simbol kekuasaannya cukup banyak dijumpai. Penguasa Orde Baru misalnya, pada awalnya sangat represif terhadap umat Islam Politik sehingga banyak pejabat pemerintah dan bahkan juga masyarakat yang menjauh dari code ritual dan bahkan juga nilai-nilai tertentu yang bersumber dari agama, tetapi memasuki 1990-an, ketika rezim Orde Baru merubah perilaku politiknya menghadapi Islam di Indonesia, dalam hal ini menjadi lebih adabtif, maka banyak simbol-simbol kekuasaan di negeri ini yang sebahagian bahkan sangat bersemangat mengenakan simbol-simbol Islam. Namun ditengah polimek menanggapi fenomena orang lalu memfokuskan kepada upaya memahami inner dirve mengapa mereka mengambil simbol-simbol kekuasaan yang dari sumber agama Islam? hal itu juga terkait dengan religiusitas dikalangan penguasa seperti itu tidak lepas dari kecenderungan elit untuk menggali sumber-sumber legitimasi. Dengan kata lain agama dijadikan sebagai instrumen dari mode dominasi atas massa yang mereka lakukan.
Kemudian yang lebih menarik lagi dari fenomena yang berkembang awal mula era reformasi, adalah ketika wacana pemilihan presiden dengan memunculkan Megawati Sukarnoputri sebagai salah satu calon presiden, namun disitu nampak adanya proses pengagamaan realitas sosial politik yang menurut istilah Mahasin sering disebut sebagai fenomena “santrinisasi abangan”(Maliki, 2000:34) dimana justru lawan politik yang mengatas-namakan PPP dengan poros tengahnya yang mengedepankan asas Islam dari perjuangan politiknya, sehingga muncullah sebuah alasan  yang menyorotinya dari sudut pandang “hukum Islam” yang menolak kepemimpinan perempuan. Dimana disitu ditinjau dari hukum Islam dan terkesan dibuat-buat, namun kenyataannya penolakan terhadap kepemimpinan perempuan itu tidak menjadi tujuan dari apa yang mereka perjuangkan ketika pemimpin PPP sendiri menduduki kursi presiden dan bahkan tidak ada manuver-manuver  politik yang mengarah pada nilai-nilai religiusitas.
Ketiga, bidang budaya bisa dilaht dalam proses penyabaran Islam yang dipelopori oleh para wali songo dimana disitu ada suatu realitas sosial budaya yang diproses untuk menjadi sebuah budaya Islam yang sudah mengental pada kalangan masyarakat, seperti budaya selamatan 7 bulan orang hamil (pelet betteng; madura) yang nota bene merupakan salah satu budaya Agama Tertentu, sehingga hal itu nampak sekali proses pengagamaannya.  
Dari gambaran diatas, ternyata masih banyak sebenarnya persoalan yang belum pernah disentuh dalam dunia penelitian yakni pengagamaan realitas sosial kemasyara-katan yang justru sangat menarik untuk dikaji yaitu karena agama dipandang sebagai salah satu faktor untuk melegitimasi kegiatan  sosial, yaitu sebagai pembentuk aktifitas sosial obyektif yang mempengaruhi pola interaksional dalam masyarakat, dimana sangat memungkinkan agama membentuk ruang sosial dari masing-masing jenis dan pemeluk agama yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola interaksi sosial diantara anggota masyakata. Namun soal essensial yang hendak dikatakan disini adalah bahwa aktifitas keagamaan sebagai sesuatu yang menjadi pelaksana norma agama dalam konteks tertentu menjadi implikasi sosiologis dari pada kehidupan keberagamaan seseorang. Di berbagai event akademis misalnya implikasi kehidupan keberagamaan terhadap aktifitas sosial merupakan hal yang sering dikaji tapi belum berung pada sebuah konklusi yang jelas dan tepat.
Tetapi meskipun demikian, ternyata masih juga terdapat sekelompok masyarakat yang berbeda dengan apa yang dikatakan di atas, dimana justru memandang realitas sosial kemasyarakatan lebih dalam etos kerja mereka merupakan sesuatu yang mutlak untuk  dilaksanakan, sehingga realitas sosial kemasyarakatan bagi sekelompok masyarakat itu merupakan sistem sosial yang sudah baku dan tidak dapat dirubah lagi. Akibatnya sekelompok masyarakat tersebut menganggap sama sekali tidak perlu memikirkan dan merombak realitas sosial  kemasyarakatan tersebut, sehingga muncullah realitas sosial kemasyarakatam yang berlabel agama sebagai sesuatu yang mutlak dan benar menurut pandangan sekelompok masyarakat itu.
Begitulah, kecendrungan seperti yang disebut terakhir diatas tampak jelas ditunjukkan dalam kehidupan kelompok masyarakat pencari infaq di jalan raya. Kelompok masyarakat itu tampak antusias sekali menjadi petugas pencari infaq dengan cara mencegat kendaraan yang lewat di jalan-jalan, tanpa harus mempertimbangkan dan memikirkan aspek sosial apakah mereka sudah sesuai dengan ajaran agama atau taqlid buta terhadap aktifitas keagamaan dari doktrin teologi yang mereka pahami.
Fenomena demikian sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam masyarakat yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemeluk agama yang patuh. Padahal dilihat dari latar belakang pendidikan umumnya mereka belajar di sekolah formal dan bahkan sekitar 65% (hasil penelitian di Kabupaten Pamekasan Madura)  dari mereka pernah belajar di pondok pesantren yang nota benenya diajarkan berbagai pandangan dalam Islam (pluralitas aliran/mazhab) dalam hidup bermasyarakat dan beragama, di samping itu secara sosial ekonomi tidaklah tergolong ekoomi lemah/miskin.
Fenomena masyarakat tersebut dilihat dari sisi ilmu sosial mengisyaratkan adanya suatu masalah yang seharusnya dipecahkan didalamnya. Masyarakat itu menampilkan sesuatu yang aneh dan unik, yang sekaligus menarik dan menantang untuk ditelaah secara mendalam, ada apa sesungguhnya dibalik fenomena itu dan mengapa pula mereka berprilaku demikian.