John Coleman (1970) menyatakan bahwa agama adalah sistem keyakinan yang berperan sebagai pemersatu masyarakat. Namun secara umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya, yang kesemuanya itu didasarkan pada keyakinan terhadap adanya Tuhan. Definisi tersebut dilihat sebagai teks dan doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pemeluk atau penganut agama tersebut tidak nampak tercakup didalamnya. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual maupun kelompok, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang berbeda dari pengetahuan keyakinan lainnya yang dipunyai manusia, peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, kelestarian serta perubaan-perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia, tidak tercakup dalam definisi tersebut.
Jika ditinjau dari sudut pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang yang membedakan perwujudannya yakni:
1. Segi kejiwaan (Psycological state).
Yaitu suatu kondisi subyektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama yang oleh Emile Durkheim disebut dengan istilah Religius Emotion.
2. Segi obyektif (Obyective state).
Yaitu segi luar yang disebut juga kejadian obyektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan.
Agama dan masyarakat merupakan organisme sosial yang utuh, karena terdapat hubungan yang permanen antara satu sama lainnya. Masyarakat sebagai suatu organisme sosial mempunyai hukum hidupnya sendiri. Oleh karena itu, yang hendak memberikan bimbingan hidup kepada masyarakat hendaklah tahu hukum masyarakat dengan berdasarkan hukum hidup masyarakat dengan berdasarkan pengetahuan tentang masyarakat itu.. Namun ketika agama teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat yang beradap dan berbudaya, maka agama menjadi sebuah realitas sosial yang berintegrasi dengan sistem nilai sosial budaya masyarakat, secara tidak lansung agama mengalami tranformasi doktrinal dan membawa terjadinya konvergensi.
Hubungan antara agama dan masyarakat sebagaiman dijelaskan diatas merupakan hubungan yang dialektik, keduanya saling mempengaruhi, saling mendorong dan saling menekan menuju perkembangan suatu masyarakat secara dinamis dan mewujudkan pasang surut dalam kehidupan sosial sehingga agama memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kelompok, sangsi moral untuk perbutan perorangan, dan dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat, dengan demikian adakalanya agama sebagai sarana interaksi sosial sehingga akan terwujud sebuah masyarakat yang berperadaban.
Namun demikian Smelser mencoba memberikan gagasan tentang Interaksi sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang bertindak dan bereaksi antara yang satu dengan yang lainnya. Agama dalam hal ini diposisikan sebagai kekuatan penyatu dan kohesi sosial, sebagaimana Comte yang menilai agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial yang juga chaos.
Kemudian dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial manusia cenderung untuk selalu berhubungan dengan lingkungannya. Adapun terjadinya interaksi sosial selalu didahului oleh satu kontrak sosial atau komunikasi. Komunikasi sosial dapat terjadi dalam bentuk: (1) komunikasi antar perorangan (2) perorangan dengan kelompok (kolektifitas), (3) antar sesama kolektifitas. Komunikasi akan berarti jika menimbulkan interaksi sosial, yaitu reaksi balik dari pihak yang diajak komonikasi. Oleh karena itu dalam interaksi sosial akan muncul jarak sosial obyektif seperti perbedaan yang ditimbulkan oleh keadaan geografis, pendidikan, agama, etnis dan sosial ekonomi, semakin jauh jarak itu semakin jauh pula kemungkinan akan terjadinya interaksi. Dan dengan demikian sebaliknya. Sedangkan faktor subyektif adalah perasaan dan pikiran seseorang yang bisa menimbulkan impresi tertentu teradap lawan dialognya. Walaupun tempat asal, agama, atnis, dan lain-lain sama atau dekat. Tetapi jika kesan tidak sama, maka sulit terjadi interaksi.
Dalam telaah ini disamping agama diartikan secara teologis, yang merupakan kumpulan doktrin yang bersumber dari Tuhan, akan tetapi juga sebagai bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Penggunaan batasan agama seperti ini dimaksudkan untuk menganalisa bagian-bagian kebudayaan masyarakat dalam mewujudkan keteraturan dan ketidak teraturan dalam masyarakat, namun betapapun goyahnya konsep “budaya” (culture, cultural forms…) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari.
Mengutip pernyataan E.B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitif Culture, yang mengartikan kebudayaan sebagai “that complex wole wich includes nowledge, belief, acts, morals, law, custom and any othter capabilities and habits acquired by man as a member of society” (keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetauan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat).
Dengan menggunakan pengertian ini, pertama agama dipahami sebagai pandangan hidup yang berfungsi menjelaskan keberadaan manusia di dunia, asal usul dan tujuannya sesudah ia meninggal. Agama adalah satu-satunya bagian kebudayaan yang mampu menjelaskan arah dan tujuan manusia, itulah sebabnya agama dikatakan sebagai bagian kebudayaan. Kedua, oleh karena agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainya, maka berarti agama juga terikat erat dengan dinamika sosial, juga dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat seperti kekerabatan, kepemimpinan, politik, ekonomi dan sebagainya. Jadi agama bersifat operasional dalam kehidupan sosial masyarakat, dan sifat operasional ini memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian empirik. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi pula oleh tingkat kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm (1956) dalam (Nata, 2001:175) yang mengatakan tidak ada kebudayaan yang tidak berakar pada agama. Keterkaitan agama dan kebudayaan (batiniah) yang melahirkan peradaban jika dilukiskan dalam sebuah gambar sebagai berikut.
![]() |
Sehingga akan tercermin sebuah kebudayaan yang berperadaban sesuai dengan diturunkannya agama yang menjadi landasan dalam hidup ini. Kebudayaan yang berperadaban disini lebih dimaksudkan sebagai suatu peradaban yang sesuai dengan etos yang mengacu pada makna agama.
Perlu difahami bersama bahwa kata “etos” berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti: ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa, dari kata etos terambil pula kata etika dan etis yang mengacu pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi, yakni kualitas essensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Jadi etos kerja berarti karakteristik (ciri-ciri atau sifat) mengenai cara bekerja, kualitas essensial dari cara bekerja, sikap dan kebiasaan terhadap kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan atau pekerjaan itu dikatakan profesi bila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian yang cukup tinggi. Agar suatu profesi dapat menghasilkan mutu produk yang baik, maka ia harus dibarengi dengan etos kerja yang mantap pula. Menurutnya ada 3 (tiga) ciri dasar yang selalu dapat dilihat pada setiap prosfesional yang baik mengenai etos kerjanya, yaitu: (1) keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya. Ketiga ciri dasar tersebut merupakan etos kerja yang seharusnya melekat pada setiap pekerjaan yang profesional.
Seseorang agaknya akan sulit melakukan tugas/pekerjaannya dengan tekun dan memiliki komitmen terhadap ketiga ciri dasar tersebut, jika pekerjaan itu kurang bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Cara kerja seseorang yang memandang pekerjaannya sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary (gaji) dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara kerja seseorang yang memandang tugas/pekerjaannya sebagai calling professio dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.
Patutlah disimak beberapa pendapat berikut ini antara lain A.Mukti Ali (1987) dalam Muhaimin (1999:07) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang ikut membentuk watak karakter dan tingkah laku seseorang, yaitu: (1) sistem budaya dan agama; (2) sistem sosial; dan (3) lingkungan alam dimana orang itu hidup. Kemudian M. Dawam Raharjo (1993) dalam Muhaimin (1999:07) menyatakan bahwa etos kerja tidak semata-mata bergantung pada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi dan komonikasi. Oleh sebab itu yang harus dikembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan menurut kesimpulan Nurcholis Madjid (1995:216) bahwa masalah etos kerja tidak bisa dipandang dari satu sudut pertimbangan, yaitu pertimbangan ajaran (yang murni) semata, tetapi juga melibatkan sudut pandang historis, sosiologis, dan faktor-faktor lingkungan lain, baik diluar diri manusia maupun dalam diri manusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar