Kamis, 31 Maret 2011

AGAMA DAN BUDAYA

Sebagai makhluk yang hidup didalam lingkungan sosial budaya tertentu, manusia bukanlah makhluk yang lepas dari konteks dan latar sosial budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal itu memungkinkan karena budaya itu senantiasa diproduksi dan direproduksi didalam masyarakat. Disamping itu proses sosialisasi dan enkulturasi terus berlangsung sehingga budaya itu menjadi terus menerus terwariskan. Tetapi lebih dari itu semuanya berjalan dengan memerlukan proses dan fungsi agama.
Setiap masyarakat tentu memiliki kebudayaan tertentu yang menjadi acuan bersama tentang bagaimana seharusnya melakukan sesuatu, bertindak serta berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Corak budaya setiap masyarakat, dalam kenyataan, memang memperlihatkan perbedaan-perbedaan spesifik antara manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan budaya yang demikian itu menjadikan suatu masyarakat memiliki karakteristik rasionalitas yang berbeda pula satu sama lain.
Dalam konteks ini, budaya dapat dikatakan sebagai acuan normatif bagi setiap masyarakat dalam berprilaku. Dalam pandangan Lenski (1970:27), misalnya, budaya adalah bagian dari prasyarat fungsional untuk tetap survive-nya suatu masyarakat. Bagi Lenski, “human societis are basically adaptive mechanism. They are, in other word, instrument which men use to satisfy their needs”. Lenski menempatkan masyarakat sebagai kelengkapan hidup manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa struktur, fungsi dan evolusi suatu masyarakat tidak lepas dari tuntutan adaptasi guna memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri. Dengan kata lain, bagaimana masyarakat itu tersusun, berfungsi dan fungsi dan berevolusi merupakan rangkaian akibat dari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Sejalan pemikiran Lenski, ahli sosiologi terkemuka Talcott Parsons (1952:15) menyebutkan, “Cultur, that is, is on te one hand the product of, and on the other and a determinant of, system of human social interaction”. Hal ini mengisyarakatkan bahwa berbagai sistem interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat ditentukan oleh budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain semakin jernih pengungkapannya, hantaman yang diterimanya semakin dahsyat (Geertz, 1995:66). Tetapi disisi lain, budaya itu sendiri sekaligus merupakan produk dari sistem interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersangkutan. Karenanya, menurut pandangan Parsons, suatu budaya pada dasarnya merupakan warisan sosial (social heritage) yang diperoleh dari hasil belajar dan merupakan hasil berbagi (sharing) dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti antara masyarakat dan budaya adalah dua persoalan yang secara analitik dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, namun dalam kenyataan kehidupan keduanya tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab satu sama lain saling bergantung sekaligus saling membentuk. Dalam kenyataan, budaya mempersaratkan adanya masyarakat agar bisa tercipta dan terbetuk suatu tatanan sosial (sistem interaksi) dalam kehidupan masyarakat.
Untuk menjelaskan persoalan diatas maka dalam perpektif teori struktur fungsional diharapkan dapat menggiring persoalan menjadi lebih jelas, guna menemukan persoalan-persoalan substansial dari telaah dalam buku ini.
Teori struktur fungsional digunakan karena dapat menumbuhkan perhatian pada sumbangan fungsional agama yang diberikan kepada sistem sosial. Dalam konteks ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah fungsi agama sebagai kekuatan integrasi masyarakat. Sebagaimana diketahui struktur fungsional melihat masyarakat sebagai egualibrium sosial dari semua institusi yang ada didalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri dari norma-norma yang dianggap syah dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi pengambil bagian (partisipasi) dari sistem itu. Keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk sistem sosial itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagian (institusi) saling menguntungkan dengan semua bagian lainnya sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi yang lain dan keadaan sistem sebagai keseluruhan. 
Agak berbeda dengan pemikiran dimuka, Berger dan Luckmann (1990:73-74) yang mengedepankan perspektif fenomenologis yang memandang bahwa sebuah tertib sosial yang tampak nyata secara empiris pada kehidupan masyarakat manusia bukanlah dikarenakan insting, tetapi lebih dikarenakan adanya produksi budaya yang kemudian melahirkan tatanan sosial. Ketika seorang manusia dilahirkan, tatanan sosial tersebut telah ada dan membudaya. Dari manakah asal usul tatanan sosial tersebut?. Menurut Berger dan Luckmann tatanan tersebut merupakan produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produk manusia yang berlangsung secara terus menerus.
Pemikiran yang dikembangkan Berger dan Luckmann diatas sesungguhnya juga tampak lebih tegas dari apa yang ditawarkan Anthony Giddens melalui teori strukturasi-nya. Menurut Giddens (1984), struktur suatu masyarakat merupakan aturan-aturan dan sumber-sumber (rules and recorurces) yang tercermin dalam sistem sosial sehari-hari. Konsep struktur tersebut secara ekplisit memasukkan budaya sebagai bagian integral dari struktur masyarakat, sebab aturan-aturan, baik dalam pengertian konstitutif maupun regulatif , pada dasarnya adalah juga-yang oleh Giddens dimaksudkan dalam pengertian-struktur. kemudian struktur itu bersifat dinamis, karena ia tidak hanya diproduksi secara terus menerus oleh para aktor yang bertindak selaku agen struktur. Dengan demikian struktur masyarakat termasuk budaya didalam, disatu sisi merupakan medium (acuan bertindak) bagi warga masyarakat, di sisi lain sekaligus merupakan outcome (hasil) dari agensi para pelaku yang berlangsung terus menerus dalam masyarakat.
Dari pemikiran para ahli dimuka, yang hendak dikatakan pada titik akhir adalah bahwa budaya yang merupakan cara hidup serta memori kolektif itu muncul sebagai hasil belajar dan hasil berbagi dalam masyarakat. Karena itu adalah sebuah keniscayaan bagi suatu masyarakat untuk melakukan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga masyarakat bersangkutan berikut budayanya tetap eksis dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya dan begitu seterusnya.
Peran pewarisan budaya yang demikian itulah yang digeluti oleh fungsi agama dalam sebuah masyarakat. Dalam hubungan ini, Thomas F.O.`Dea menyebutkan Agama ialah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supra-empiris.
Demikianlah, sinyalemen tersebut diatas menunjukkan bahwa disatu sisi agama merupakan suatu proses dan instrumen penting di dalam masyarakat dalam rangka mewariskan budaya, disisi lain budaya terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya memerlukan fungsi agama di dalam-nya. Karena itu, antara agama dan budaya bersifat interaktif komplementatif.
Sejalan dengan perspektif teoritis yang dipaparkan dimuka, telaah ini hendak dilaksanakan dengan mengedepankan kerangka konseptual berikut ini. Bahwa pemaknaan agama dalam aktifitas sosial pada sebuah masyarakat merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan penuh pertimbangan oleh setiap pelakunya. Karena itu yang diperlukan adalah suatu upaya pemahaman terhadap rasionalitas atau struktur budaya yang mendasari mereka atas keputusan terhadap pemaknaan agama dalam beraktifitas sosial. Rasionalitas itu akan terungkap berdasarkan alasan-alasan serta jalan pemikiran yang mereka gunakan ketika mengambil keputusan. Dan ini hanya dapat dipahami dengan menggunakan perspektif emik, berdasarkan apa yang dipikirkan atau apa yang hidup dalam dunia makna pelakunya sendiri.  
Sehingga dengan demikian Clifford Geertz di Mojokuto (Kediri) tahun 60-an mencoba menginterpretasikan budaya dan agama masyarakat yang kemudian menghasilkan tipe-tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, yaitu tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, padagang dan pegawai pemerintah dalam semua arena kehidupan. Tiga tipe kebudayaan tersebut adalah abangan, santri dan priyayi. Geertz membahas baik konflik antara ketiga tipe keagamaan tersebut, maupun caranya konflik itu diperkecil, dan sebenarnya diubah menjadi keuntungan yang positif. namun demkian  menekankan pada aspek perbedaan interpretasi teologis, sosio-kultural, tentang keberterimaan budaya masyarakat tertentu. Dimana masyarakat yang awam tentang kerangka teologis aktifitas sosial bisa jadi menyelenggarakan budaya yang berbeda, karena dalam dirinya muncul kegelisahan dan keragu-raguan setelah pengaruh spiritual keagamaannya . Dari kondisi ini kemudian muncul kesadaran seseorang akan kebutuhan spiritual.

1 komentar: